"If you have a chance to change your fate, would
you?"
Gambar diunduh dari sini |
Kata-kata tersebut
saya dapatkan dalam trailer sebuah film
animasi yang tampaknya akan meraih sukses di masa perputarannya. Saya merasa
bahwa kata-kata tersebut begitu bermaknanya untuk saya telaah dan renungkan
sepanjang beberapa hari ini. Beberapa pemaknaan baru akan hidup hadir ketika
saya meluangkan waktu untuk merenungkan hal-hal tersebut. Mengenai takdir, dan
mengenai hidup.
Banyak orang
merespon pertanyaan tersebut kepada saya dengan jawaban-jawaban "I wouldn't", "It's a privilege born
with this fate", "I'm satisfied enough". Saya tidak mengerti mengapa mereka menjawab
hal-hal demikian. Apakah mereka cukup puas dengan keadaan hidupnya dan merasa
bahwa hidupnya telah memberikan arti yang signifikan? Apakah mereka begitu saja
menerima takdir yang ada di depan mereka?
Tampaknya banyak
orang masih salah kaprah dengan pertanyaan tersebut. Mereka menganggap bahwa
takdir adalah masa lalu yang menjadikan setiap mereka seperti sekarang ini.
Bagi saya, jika takdir didefinisikan sebagai hal tersebut, saya juga merasa
puas dengan kondisi saya. Tak sedikitpun bagian dari diri saya yang ingin saya
rubah dalam masa lalu saya.
But life is supposed to live forward, right?
Kita memang tidak
bisa mengubah masa lalu, namun jelas kita bisa memilih masa depan kita. Our future is not a fate, it's in our decision.
Jika kita tahu bahwa masa depan kita tidak akan berjalan dengan baik jika kita
terus menerus menjadi diri kita seperti yang sekarang, akankah kita merubahnya?
Itulah inti
pertanyaan saya di awal tulisan ini. "If
you have a chance to change your fate, would you?"
Saya tidak dapat
bayangkan apa jadinya negeri ini jika mereka para pengubah sejarah memilih
untuk menerima semua yang telah ditakdirkan tanpa berusaha membentuk takdir
mereka sendiri.
Saya tidak dapat
bayangkan Indonesia tanpa Ki Hajar Dewantara. Jika beliau menerima takdir bahwa
pendidikan memang tidak bisa diperjuangkan di negeri ini, maka tidak akan
pernah ada jenjang sekolah tinggi yang membuat kita cerdas seperti sekarang
ini. Beliau amat memperjuangkan sebuah konsep Taman Siswa agar anak-anak
Indonesia ketika itu dapat mengenyam pendidikan yang setidaknya dapat
mencerdaskan mereka. Beliau amat memegang teguh bahwa pendidikanlah tonggak
dasar sebuah bangsa.
Apa jadinya jika Ki
Hajar Dewantara menolak berjuang untuk takdir masa depan pendidikan indonesia?
Gambar diunduh dari sini |
Saya juga tidak
dapat bayangkan Indonesia tanpa lahirnya R.A. Kartini. Beliau tumbuh besar
dalam sebuah takdir yang penuh dengan pertentangan dimana strata kaum wanita
berada di bawah kaum pria. Beliau menolak untuk diam. Kegerakan untuk
menyamakan strata pria dan wanita masih terdengar hingga kini. Emansipasi
wanita yang ia perjuangkan memberi dampak bagi seluruh kaum wanita di
Indonesia.
Apa jadinya jika
R.A. Kartini menolak berjuang demi takdir wanita Indonesia?
Gambar diunduh dari sini |
Begitu banyak orang
yang masih merasa bahwa hidup itu harusnya mengalir seperti air. BODOH! Kita
belajar bahwa air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Jika hidup
kita mengikuti prinsip air, maka hidup kita akan terus menuju pada pemaknaan yang
lebih rendah.
Ikan berenang
melawan arus air. Layang-layang terbang melawan arus angin. Karena semua yang
terbawa arus adalah hal yang mati. Begitu pula hidup kita. Jangan pernah merasa bahwa
hidup kita harus mengikuti sebuah arus bernama takdir.
Ubah hidupmu.
Tentukan takdirmu sendiri. Karena tak ada satupun orang hebat yang berhasil
karena mengikuti takdir. They build their own
fate.
Now, for the last time, I remembered you once again
with this question: "if you have a chance to change your fate, would
you?"
Gambar diunduh dari sini |
No comments:
Post a Comment