Friday, March 21, 2014

Buka Bisnis = Cari Masalah

Beberapa bulan yang lalu saya baru mengganti ban motor saya dengan ban tubeless. Setelah sekian lama menggunakan ban lama yang memiliki ban dalam, akhirnya saya menyerah dan memutuskan menggunakan tubeless. Alasannya? Saya sudah mulai lelah mendorong motor saya dan mencari tambal ban terdekat untuk sekedar menambal atau mengganti ban dalam yang secara harga tidak berbanding lurus dengan kualitasnya.
Saya terlampau lelah terlambat pada janji-janji penting dan beralasan bahwa ban motor saya kempes karena paku-paku yang tersebar di jalanan.

Ya saya menyerah dan memutuskan merogoh kocek lebih dalam untuk mengganti keseluruhan ban motor saya. Sekarang saya jauh lebih menikmati jalanan karena tak lagi khawatir akan paku-paku yang berserakan dan memungkinkan ban untuk kempes tertusuk karenanya.

Ban tubeless

Beberapa hari kemudian, saya bertanya-tanya: 'kapan ya ban tubeless pertama kali ada?'

Singkat cerita, dari internet saya menemukan bahwa penemuan ban sudah ada sejak lama, dan terus berkembang hingga saat ini. Dan ban tubeless atau ban tanpa ban dalam pertama kali dikenalkan pada tahun 1903. Di Indonesia sendiri? Kurang lebih ban tubeless menjadi booming dan laku di Indonesia semenjak tahun 1990-an.

Kenapa? Simpel karena banyak paku bertebaran dimana-mana.

Oke sebelum saya membicarakan hal ini, pernahkah berpikir bahwa ban tubeless tidak begitu populer di Indonesia dulunya? Tidak heran berbagai merk motor dan mobil lebih banyak menggunakan ban motor biasa saat meluncurkan produknya. Selain lebih murah secara harga, kualitasnyapun masih dianggap mampu menerjang jalan raya pada masanya.

Semakin tahun berjalan, semakin banyak oknum yang nekat menyebar paku di jalan guna untuk mendapat pelanggan atas tambal ban yang dimilikinya. Sehingga banyak motor yang menggerutu dan mencari alternatif lain.

Mulailah ban tubeless ramai dicari para pengguna kendaraan bermotor. Bukan karena performanya yang lebih baik yang dilihat, tetapi karena pengunaannya dapat lebih menguntungkan karena mampu bertahan lebih lama walaupun terkena paku di jalan raya. Sehingga tidak heran hampir semua kendaraan bermotor beralih menggunakan ban tubeless dibanding ban dalam biasa.

Apa poin yang ingin saya sampaikan? Masalah itu selalu ada.

Bisnis tambal ban ada karena banyaknya kebutuhan para pengendara menambal atau mengganti ban dalamnya karena terkena paku di jalan. Bisnis ban tubeless merajalela karena kebutuhan para pengendara yang ingin menikmati perjalanannya dengan lebih baik.

Masalah menciptakan kebutuhan. Dan kebutuhan menuntut adanya jawaban.

Disini bisnis berperan penting. Seringkali kita menawarkan produk sebagai jawaban dari kebutuhan segmentasi pasar kita. Tapi apakah selamanya masalahnya tetap sama? Apakah selamanya kebutuhannya tak berbeda?

Inovasi jawabannya!

Sama seperti masalah yang terus berkembang, kemampuan kita memberi jawaban juga harus meningkat. Sebagai seorang pebisnis yang sedang belajar, saya melihat bahwa bisnis ada karena adanya masalah.
Artinya, masalah seharusnya tidak membuat bisnis kita mati. Justru jika tidak ada masalah, bisnis kita yang mati.

Solusi ada karena masalah

Solusi diciptakan karena ada masalah. Ada ketidakpuasan yang terjadi. Ada pergeseran yang membutuhkan hal yang lebih baik. Itulah mengapa sebuah solusi kemudian ditemukan. Dan kembali, dalam bisnis - solusi dari permasalahan baru tidak bisa dijawab selain dari inovasi yang harus dilakukan.

Mengutip sebuah judul buku dari seorang Gede Prama: Inovasi atau Mati!

Saturday, March 15, 2014

Jangan Buka Usaha!

Beberapa kali saya terlibat diskusi dengan teman-teman yang punya keinginan untuk membuka usahanya sendiri. Mulai dari melanjutkan sistem franchise yang ada, memulai online shop, hingga ide membuat toko atau restaurant sendiri dengan menjual produk yang dibuatnya sendiri.

Namun, hampir semua teman tersebut berakhir kembali di belakang meja kerja dan mengatakan, "belum terkumpul modalnya". Sebuah alasan yang klasik yang membuat begitu banyak orang pada akhirnya tidak memulai.

Tidak ada modal

Baiklah saya mengaku. Salah satu orang yang pernah mengungkapkan itu adalah saya. Saya menunda untuk membuka usaha karena modal yang terlihat belum mencukupi ekspektasi saya. Saya memilih untuk mengurunkan angan saya untuk membuka cepat sebuah usaha.

Namun memang benar kata pepatah bahwa orang bebal tak akan pernah jalan kemana-mana. Dan saya memilih untuk tidak menjadi orang bebal. Saya memilih untuk menambah wawasan saya untuk belajar dari para pakar. Program T100 dari UCEO (Universitas Ciputra Entrepreneur Online) membawa saya belajar dari pakar tersebut, dan saya belajar bahwa modal materi adalah prioritas ke-sekian dalam sebuah pembangunan usaha.

Kalau yang dipikirkan hanyalah tidak ada modal uang, jangan buka usaha!

Kata-kata itu menjadi kesimpulan saya setelah mendengar para orang sukses yang telah berhasil di dunia usaha. Bahkan orang sukses yang telah berhasil bertahun-tahun di dunia usahapun menilai bahwa uang bukanlah modal utama. Betul kita memerlukan uang sebagai modal kita untuk menjalankan sebuah usaha, namun jika itu dianggap menjadi satu-satunya hal utama dan terpenting, kita telah meleset menilai mengenai sebuah pembangunan usaha.

Mana yang kita pilih:
1. Membuat sebuah konsep bisnis yang bagus dan besar kemudian baru mencari hal-hal yang dapat mewujudkan hal itu,

atau

2. Kita lihat apa yang kita punya dan kemudian berpikir bisnis apa yang bisa kita ciptakan dan kembangankan dengan apa yang telah kita punya?


2 pilihan

Orang yang kebanyakan berakhir di belakang meja kerja dan mengatakan bahwa 'belum ada modalnya' pasti karena memilih pilihan pertama. Mereka (termasuk saya dulunya) masih menganggap bahwa modal harus mengikuti ide yang saya buat. Padahal menurut para pakar, tidak seperti itu.

Ada 3 pertanyaan yang perlu kita refleksikan sebagai 'modal' yang sudah pasti kita semua punya:
1. Siapa saya?
Pertanyaan ini akan membuka banyak sekali hal terhadap bisnis yang akan kita mulai. Pertanyaan 'siapa kita' termasuk di dalamnya bidang apa yang saya suka, saya lulusan mana, apa hobi dan passion saya, peran apa yang sedang saya jalankan sekarang. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendasar yang perlu kita tahu jelas sebelum menjalankan sebuah usaha yang kita jalankan sendiri.

2. Apa yang bisa saya lakukan?
Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang paling menuntut banyak waktu menurut saya, karena membutuhkan penggalian kedalam diri sendiri yang terkadang menjadi tempat yang paling jarang kita tanyai sepanjang hidup kita. Namun pertanyaan ini akan menuntun kita pada jenis usaha yang memang akan menjadi trademark kita, karena hal itu sangat merepresentasikan siapa diri kita.
'Apa yang bisa saya lakukan' mencakup hal apa yang paling mampu kita lakukan, aktifitas yang paling saya suka, hal yang bisa saya tawarkan pada orang lain, ketrampilan yang dapat mendukung usaha saya kedepannya.

3. Siapa yang saya kenal?
Ini merupakan pertanyaan yang penting untuk kita pikirkan secara mendalam, karena semua orang sukses pasti berjalan bersama-sama dengan relasinya. Tidak pernah ada orang dalam sejarah yang sukses karena kemampuannya sendiri.
'Siapa yang saya kenal' mencakup siapa saja yang memungkinkan membantu saya untuk mewujudkan usaha saya. Siapa yang mampu melengkapi kekurangan saya di satu aspek sehingga usaha yang dibangun dapat berjalan dengan lebih mulus.

Ketiga hal inilah yang saya pelajari dari para pakar usaha mengenai modal. Dan seluruh orang sukses di bidang bisnis apapun mengerti mengenai 3 hal ini.

Sebagai seorang pemula, saya belajar untuk mengatur hal-hal atau sumber-sumber yang ada di dalam diri saya terlebih dahulu sebelum saya mengatur sumber-sumber yang ada di luar. Dan saya belajar untuk memulai menggali modal yang seyogyanya ada di dalam saya.

We don't need to be great to start. But we need to start to be great.

Tuesday, March 4, 2014

Strategi: Sebuah Nafas Dalam Usaha

Saya yakin setiap dari kita tahu mengenai Kodak. Sebuah perusahaan yang menjadi pionir sebuah produk fotografi dan telah berjaya melahirkan produk-produk inovatif yang kemudian bisa kita rasakan dampaknya sekarang ini. Bahkan Kodak adalah pionir dari negatif film yang membuat dunia gempar karena dapat membawa hasil foto mereka kemana-mana.


Namun sayang, setelah berjuang mati-matian untuk tetap bertahan hidup, perusahaan Kodak telah dinyatakan berakhir semenjak tahun 2012. Era digital semakin merajalela dan sedikit demi sedikit orang meninggalkan negatif film yang mereka rasa tidak mereka butuhkan lagi.

Kodak bukannya tidak melihat perubahan tersebut, tapi ditengarai Kodak amat ragu-ragu dan tidak total untuk mengubah bisnis mereka secara signifikan. Akhirnya, orang muali beralih dari produk Kodak ke produk-produk lain yang dirasa lebih canggih dan mengikuti tren masa kini.

Kodak bukanlah satu-satunya. Lihatlah IBM sekarang ini, handphone Nokia yang dulu pernah berjaya, social media Facebook, kini telah diambang "kematian"nya. Begitu banyak produk yang dulu pernah berjaya kita telah tergantikan oleh produk-produk baru yang semakin canggih dan berkelas.

Saya belajar bahwa inovasi akan terus ada, dan jika kita tidak berusaha mengikuti kemampuan kita dengan inovasi yang beredar di dunia, bersiaplah tertinggal.

Dalam program T100 yang diadakan UCEO (Universitas Ciputra Entrepreneur Online), sebuah kuliah online yang saya ikuti, saya diajarkan mengenai strategi dalam berwirausaha. Begitu pentingnya sebuah strategi dalam usaha agar kita lnatas tidak mengalami "kematian" dalam berbisnis.


Setiap bisnis pasti akan mengalami masa penurunan. Masa dimana produknya tidak lagi menjadi unggulan dan era yang berlangsung sedikit demi sedikit menenggelamkan produk yang kita jual. Oleh sebab itu dibutuhkan strategi.

Banyak perusahaan yang menjadikan strategi sebagai "jurus pamungkas" dimana saat pelanggan mulai menurun minatnya atas produk yang dijual, barulah memutar otak untuk memunculkan strategi untuk berubah. Padahal, strategi seharusnya menjadi nafas sebuah usaha.

Bukan hanya saat penjualan menurun, namun di setiap saat pebisnis harus memutar otak untuk melancarkan strategi agar tidak berakhir dengan "kematian". Sebagai seorang entrepreneur, sudah seharusnya strategi menjadi teman baik kita sepanjang perjalanan menuju puncak kesuksesan. Tidak hanya menjadi jurus yang keluar saat keadaan menjadi tidak stabil, tapi justru strategi menjadi nafas bagi kita untuk terus maju dan bertumbuh.

Pak Sudhamek, seorang CEO Garudafood dengan lantang mengingatkan saya bahwa bisnis jangan hanya mencari profit. Betul bahwa kita butuh profit dalam usaha yang kita bangun, namun jika kita menjadikan profit sebagai satu-satunya tujuan kita menjalankan bisnis, itu sudah salah besar. Di industri apapun kita berada, sebenarnya yang kita jual bukanlah barang atau jasa, melainkan sebuah nilai tambah.

Setiap orang mencari nilai tambah atas suatu produk atau jasa yang kita sediakan. Artinya, poin pentingnya bukan pada jasa atau barangnya, tapi lebih kepada nilai yang diberikan atas barang atau jasa tersebut. Kualitas yang kita bangun seharusnya adalah kualitas yang tidak bisa tidak dilirik oleh konsumen. Oleh sebab itu, sebuah nilai tambahlah yang menjadikan sebuah bisnis terus bertumbuh.

Namun, saya belajar bahwa nilai tambah tidak dihasilkan begitu saja. Perlu daya pikir luar biasa untuk menentukan strategi bagaimana sebuah nilai tambah itu dihasilkan. Dan seorang pebisnis harus mampu mengubah kendala menjadi sebuah peluang strategi untuk berusaha agar bisnis yang dikelolanya menjadi lebih baik lagi dan tetap dilirik oleh konsumen yang ada.

Belajar dari Kodak, janganlah lalai untuk mengatur strategi. Layaknya tim sepak bola, strategi menjadi langkah awal sebuah tim bisa memenangkan pertandingan.

Success always start from execution, and a great execution always start with great strategy.
So, let's strategize!